3
Advertise With Us

Interested in advertising with us? Get in touch!

Advertise Here
Interested in advertising with us? Get in touch!

Senin, 25 Januari 2021

Cegah Stunting, Penting!

 



Cegah Stunting, Penting!

Oleh: Marpaleni

dimuat di Sriwijaya Post 25 Januari 2021



Alkisah di Madagaskar, hiduplah dua bocah: Miranto dan Sitraka. Keduanya lahir di hari yang sama di Ambohimidasy Itaosy. Desa ini berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Antananariv, Ibu Kota Madagaskar, dengan transportasi darat.

 

Tahun 2016, Miranto telah bersekolah. Temannya banyak. Sebaliknya dengan Sitraka. Berpostur jauh lebih pendek dibanding teman sebayanya itu, Sitraka belum lancar berbicara.  Ia pun belum bisa berdiri dengan kokoh dalam waktu yang lama. Akibatnya, Sitraka belum bisa bersekolah. Ia juga sulit bergaul.

 

Sitraka menderita chronic malnutrition atau stunting.  Stunting berarti kondisi gagal tumbuh yang menyebabkan tubuh balita mengerdil.  Stunting tidak hanya berpengaruh terhadap tinggi anak. Penderitanya juga rentan terhadap penyakit dan infeksi.  Dampak lainnya adalah gangguan dalam perkembangan mental. Menurut World Food Programme, dalam jangka pendek stunting bisa menghambat perkembangan otak, melemahkan sistem imun tumbuh dan berdampak pada rendahnya IQ. Dalam jangka panjang, stunting berdampak pada rendahnya produktivitas dan tingginya biaya kesehatan. Juga postur kerdil, kematian premature, serta risiko terkena diabetes dan kanker.

 

Persoalan Stunting di Indonesia

 

Sitraka tidak sendirian. Menurut Unicef, sekitar 150 juta balita di dunia, termasuk Indonesia, senasib dengannya.

 

Bahkan, prevalensi stunting di Indonesia tergolong tinggi. Tahun 2016 prevalensi stunting Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dari terbaik hingga terburuk. Di level Asia Tenggara, stunting di Indonesia menduduki peringkat kedua, setelah Kamboja. Dari terburuk hingga terbaik.

 

Secara umum, prevalensi stunting di Indonesia bisa dimonitor dari hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI). SSGBI adalah survei yang bertujuan untuk mengumpulkan data status gizi dengan metode antropometri yang kemudian diintegrasikan dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional - Susenas. Survei ini dikerjakan oleh Balitbangkes Kemenkes dan BPS.

 

Menurut SSGBI, prevalensi stunting di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Namun, jumlahnya masih tergolong tinggi.  Tahun 2018, prevalensi stunting Indonesia mencapai 30,8%. Pada tahun 2019, prevalensi stunting di Indonesia menurun ke level 27,6%.  Prevalensi stunting sebesar 27,6%  berarti: dari 100 balita di Indonesia, sekitar 27-28 orang diantaranya menderita stunting. Angka ini masih melebihi ambang batas stunting yang direkomendasikan WHO – World Health Organization, yaitu kurang dari 20 persen.

 

Prevalensi stunting di Provinsi Sumatera Selatan tidak bisa dikatakan lebih baik dari angka nasional. Hasil SSGBI tahun 2019 menunjukkan: prevalensi stunting Sumatera Selatan mencapai 28,98%. Ini berarti: dari 100 balita di Sumatera Selatan, sekitar 29 diantaranya menderita stunting.

 

Selain melebihi ambang batas WHO dan cenderung kurang baik dibanding angka nasional, persoalan stunting di Sumatera Selatan juga dihantui oleh persoalan ketidakmerataan. Pada tahun 2019, Lubuk Linggau menjadi satu-satunya Kabupaten/Kota dengan prevalensi stunting kurang dari 20%. Ini berarti, prevalensi stunting di 16 Kabupaten lainnya masih melebihi ambang batas WHO.

 

Range prevalensi stunting di 16 wilayah tersebut terbilang lebar. Berkisar antara 22,91% (Palembang) hingga 41,12% (Muratara).  Prevalensi stunting di Muratara terbilang genting karena mengindikasikan bahwa: dari 100 balita di Muratara, sekitar 41 balita diantaranya menderita stunting.

 

Muratara tidak sendiri. Hasil SSGBI tahun 2019 menunjukkan: ada empat kabupaten/kota lain dengan prevalensi stunting mendekati 40 persen. Kabupaten/kota ini adalah Pagar Alam (39.19%), Empat Lawang (39,16%), Muara Enim (38,62%) dan OKI (38,06%). Tanpa mengesampingkan wilayah lainnya, Kabupaten/Kota ini perlu mendapat perhatian dan prioritas khusus.

 

Selain itu, statistik diatas jelas menunjukkan. Jalan menuju penyelesaian problema stunting di Sumatera Selatan masih panjang dan berliku. Demi mencapai prevalensi stunting di bawah ambang batas WHO secara merata tahun 2024, pemerintah daerah masih harus berkerja ekstra keras.

 

Mengatasi Stunting

 

Menurut WHO, stunting muncul sebagai akibat dari undernutrition kronis, atau kekurangan makanan dan gizi kronis pada seribu hari pertama paska pembuahan hingga bayi berumur dua tahun. Hal tersebut muncul sebagai akibat dari kemiskinan, rendahnya pendidikan, ataupun kurang memadainya pelayanan kesehatan ibu dan anak, juga sanitasi. Faktor–faktor tersebut muncul dipicu oleh berbagai persoalan yang saling tumpang tindih dan berinteraksi secara kompleks.

 

Menurut WHO, sebagian besar orang tua sudah mengetahui peran nutrisi bagi perkembangan kesehatan balita. Namun, mereka mungkin belum memahami bahwa proses stunting sudah mulai terpicu sejak bayi masih berada dalam kandungan. 

 

Sebuah penelitian di Malawi menyebut: pada usia tiga tahun, penderita stunting memiliki rata-rata tinggi sekitar 10 sentimeter lebih rendah dibanding rata-rata tinggi balita sehat seusianya.  Menurut WHO, 20% dari gejala stunting tersebut telah terlihat sejak hari kelahiran dan 20% lainnya tampak pada usia enam bulan. Sementara 50% dari kejadian sudah terlihat pada usia 6 – 24 bulan. Terakhir, 10% sisanya tampak saat balita berumur 2– 3 tahun. Ini berarti, tinggi bayi saat lahir bisa menjadi salah satu penanda bayi akan tumbuh dengan normal.

 

Demi mencegah stunting, ibu hamil membutuhkan asupan energi, gizi dan nutrisi cukup dan seimbang yang berasal dari makanan yang variatif dan berkualitas baik. Sedemikian karena, selama hamil, selain memenuhi asupan nutrisi untuk dirinya sendiri, ibu juga memenuhi kebutuhan gizi janin/bayinya.  Disamping menjaga nutrisi, ibu juga perlu menjaga kesehatannya sehingga terhindar dari penyakit ataupun infeksi yang bisa menghambat pertumbuhan bayi.

 

Untuk itu, pemberian support berupa program edukasi terkait kesehatan reproduksi dan gizi bagi para ibu dan calon ibu menjadi sangat krusial. Edukasi ini selain berfokus pada pemahaman tentang pentingnya pemenuhan gizi dan nutrisi saat hamil, juga pada pentingnya pola asuh yang mendukung praktik pemberian makanan bergizi bagi bayi dan balita. Selanjutnya, program edukasi sebaiknya diikuti juga dengan pemberian fasilitasi yang bertujuan untuk perbaikan sanitasi dan akses terhadap air bersih

 

Mengatasi stunting berarti mengatasi faktor penyebab dan pemicunya. 

 

Saat ini pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan untuk pencegahan stunting di tanah air. Mulai dari penguatan komitmen dan koordinasi dari pemangku kebijakan, melakukan kampanye nasional untuk mengkomunikasikan perubahan perilaku, meningkatkan akses terhadap makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan hingga meningkatkan proses pemantauan dan evaluasi kebijakan.

 

Di Sumatera Selatan, Dinas Kesehatan telah mengeluarkan berbagai inovasi terkait stunting. Salah satunya adalah dengan mendirikan Rumah Intan (Rumah Inovasi Kesehatan). Fasilitas ini berperan sebagai simpul yang mendorong berkembangnya inovasi-inovasi yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi stunting di Bumi Sriwijaya. Diantara inovasi yang telah tertampung dalam Rumah Intan dan bisa direplikasi di berbagai wilayah adalah Garpu Genting (Gerakan Peduli Cegah Stunting) dan Fun for Mom (Menyusui bayi dengan menyenangkan).

 

Namun demikian, untuk mencapai prevalensi stunting sesuai rekomendasi WHO secara merata di seluruh Sumatera Selatan memerlukan upaya-upaya yang lebih intensif.

 

Pembuatan kebijakan memang menjadi bagian penyelesaian paling hulu. Namun, kebijakan tersebut tidak akan berakhir dengan sesuatu yang nyata jika tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkannya.

 

Seperti Sitraka, masih banyak balita yang menderita stunting. Penderitaan mereka bukan hanya terkait pada persoalan memiliki tubuh terlalu pendek jika dibandingkan anak-anak sehat seusianya. Ada dampak lain yang akan terus mengikuti balita penderita stunting hingga sisa hidupnya. Sitraka misalnya, selain tertinggal dari sisi pendidikan, Ia juga tertinggal di sisi perkembangan mental. Mengingat kondisi stunting sedang genting, mencegahnya tentu penting!

 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox
Interested in advertising with us? Get in touch!